Sign by Dealighted - Coupons & Discount Shopping

spirit of bali culture and tradition

about balinese, ideology, religion, religious, holy book, weda, lontar, usada, emotions, healthy, hindu, culture, traditions, hinduism, balism, knowledge, science in bali

Name:
Location: Gianyar, Bali, Indonesia

Private Teacher Healer practice Reiki, Prana Shakti, Q-Rak, Shamballa LDH

Friday, November 9, 2007

Kesalah pahaman KASTA di Bali

Selama masa Bali kuno, masyarakat menjadikan Tuha-tuha pemegang adat (yang di tuakan) sebagai panutan. Kemudian tampil Raja, para Penguasa dan para Pendeta mengambil peranan lebih menonjol. Ketika itu, sesuai dengan konsep Catur Warna dalam Agama Hindu, masing-masing Warna tidaklah merupakan hak turun-temurun.

Keadaan demikian berlangsung sampai pemerintahan Raja Bali kuno terakhir, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Setelah kekalahan Beliau melawan Majapahit tahun 1343, kemudian diangkat seorang keturunan Brahmana, Mpu Kresna Kepakisan dari Kediri menjadi Raja Bali. Semenjak itulah sistem Warna perlahan-lahan berubah menjadi sistim Wangsa, yang secara umum dapat disebut sebagai sistim kasta khas Bali. Namun demikian, pelapisan sosial masyarakat Bali ke dalam sistim kasta itu tidak nampak dianut seluruh daerah ini. Dalam masyarakat Bali Aga, sistim kasta tidak ditemukan.

Ketika Mpu Kresna Kepakisan dipilih menjadi Raja di Bali, Beliau segera mengubah kedudukanya menjadi Ksatria. Namanya pun diganti dari Mpu, gelar seorang Brahmana, menjadi Sri, gelar seorang Ksatria.

Demikian jelas, pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan, sistem Wangsa sebagai sistim kasta khas Bali masih belum ada. Bahkan pergantian gelar Mpu menjadi Sri itu menunjukan sistim Warna seperti yang dianut masyarakat Bali kuno masih dipakai.

Setelah Sri Kresna Kepakisan bersama para Arya Majapahit yang memerintah di bali inilah mulai menciptakan Wangsa - wangsa, yang kemudian dikelompokkan sebagai Ksatria dan Waisya dalam sistim kasta. Sedangkan Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang Astapaka, menurunkan Wangsa Brahmana yang kemudian dikelompokan ke dalam kasta Brahmana. Sementara keturunan Raja dan Ksatria Bali Aga yang dikalahkan nyaris tidak berhak menyandang gelar ketiga “Kasta” tersebut, kecuali mereka yang diperlukan wibawanya dalam menegakkan stabilitas pemerintahan yang baru. Tetapi mungkin juga seperti masyarakat Bali Aga umumnya, keturunan Raja dan Ksatria Bali Aga itu tetap menolak sistem “kasta”. Mereka dikelompokkan sebagai “Sudra” yang kemudian menyebut diri mereka sendiri sebagai “Jaba”(luar), yang berarti golongan di luar ketiga kasta tersebut.

Tetapi untuk menyesuaikan dengan sistim warna, ada yang menyebut para “Ksatria” di luar “Satria Dalem”(keturunan raja-raja Dinasti Kresna Kepakisan), sebagai kasta “Waisya”.

Pengelompokan wangsa-wangsa di Bali dikukuhkan lagi dengan hukum adat, yang memberi hak-hak lebih istimewa kepada wangsa yang lebih tinggi. Dengan melekatnya hak-hak istimewa itu, yang melekat secara turun-menurun, semakin kuatlah anggapan masyarakat bahwa wangsa itu sesungguhnya sama dengan kasta.

Pada masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan ini sudah muncul gelar-gelar baru, seperti Gusti dan Dewa, bercampur dengan gelar-gelar lama, seperti Arya, Krian dan Kyai. Perkembangan selanjutnya menunjukkan sistim wangsa yang sengaja dimirip-miripkan dengan kasta menumbuhkan pula sejenis sub-sub kasta seperti di India. Istilah “Pungakan (Ngakan), sebagai pecahan kasta ksatria. Sebutan “Ngurah” untuk menamai anak yang lahir dari Ayah Ksatria dengan Ibu Jaba. Dan istilah “Astra” untuk sebutan anak yang lahir dari seorang Ibu berkasta lebih rendah dari Ayah, namun tidak dinikahi atau dinikahi setelah hamil. Masih ada istilah “Si atau Gusi (beda dengan Gusti), yang mirip dengan sub-sub kasta yang ada di India.

Meskipun kemudian masalah kasta di Bali tidak berkembang setajam dan serumit di India, namun sistim wangsa telah menimbulkan gejolak-gejolak social. Hal ini didahului dengan semacam perebutan pengaruh lewat “Politik Keagamaan” seperti tercermin di dalam Babad-babad.

Para ksatria Bali Aga yang telah ditaklukan secara pisik sehingga tergeser dari panggung kekuasaan kaum elit, dinistakan oleh Prapanca (pujangga Majapahit) seperti tercantum dalam Kitab Nagarakertagama, nyanyian 49, bait 4, tentang Raja Bali terakhir, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sebagai seorang Raja Bali yang hina. Dalam bait itu disebutkan “…….tahun saka 1265 raja Bali yang jahat dan nista diperangi oleh Majapahit dan semua binasa. Takutlah semua pendurhaka pergi jauh….”.tuduhan Prapanca itu tidak benar karena Raja Bali tersebut raja yang gagah berani dan menghendaki orang Bali tetap berdaulat dan merdeka, serta merupakan Negara yang sejajar dengan Majapahit. Karena sifat tersebut, beliau disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang berarti sang raja yang kesaktiannya ibarat delapan Dewa, permata pulau Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuduhan pujangga Prapanca tersebut disebabkan oleh karena Raja Astasura (Dalem Bedahulu) tidak mau tunduk kepada raja Majapahit.

Karena para Ksatria Bali Aga telah dapat disingkirkan dari panggung kekuasaan dan direndahkan derajatnya, maka kemudian kaum Brahmana Bali Agalah yang menjadi sasaran karena tidak menyetujui sistim kasta. I Gusti Bagus Sugriwa (yang menyalin babad Dwijendra Tattwa) menyebutkan Brahmana Bali Aga termasuk Empu, Dukuh, dan Sengguhu (Bhujangga) yang dikenal sebagai penganut sekta Wisnu (Waisnawa) yang terutama menjadi sasaran. Dalam kaitan “Politok Keagamaan” diciptakan babad-babad (semacam penulisan sejarah) seperti Dwijendra Tattwa dan Kundalini yang berusaha mengecilkan peranan warga Bhujangga. Misalnya dibuat dongeng bahwaseluruh warga Bhujangga telah punah (moksah), dan sengguhu yang ada di bali tidak lain daripada keturunan pelayan Dang Hyang Nirarta yang bernama I Kelik. Jika menjadi pendeta harus ditapak oleh Pedanda dari wangsa Brahmana dan julukan yang patut diterima kepadanya adalah “Jero Gede”. Politik keagamaan ini nyari berhasil, karena beberapa warga Bhujangga sempat di-Diksa (dibaotis sebagai pendeta) oleh wangsa Brahmana dan kemudian diberi julukan Jero Gede.

Namun belakangan sebagian umat Hindu sadar bahwa apa yang diperjuangkan oleh para Brahmana dan Ksatria Bali Aga adalah sesuai dengan inti kebenaran ajaran Hindu. Umat Hindu juga sadar bahwa “Politik Keagamaan” yang bertujuan memecah belah umat hanya akan menimbulkan gejolak social, penderitaan dan kerugian bagi umat Hindu sendiri. Gejolak sosial kemudian terjadi setelah masyarakat Bali lebih leluasa dapat mempelajari agama dan meningkatkan pendidikan mereka.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home