Sign by Dealighted - Coupons & Discount Shopping

spirit of bali culture and tradition

about balinese, ideology, religion, religious, holy book, weda, lontar, usada, emotions, healthy, hindu, culture, traditions, hinduism, balism, knowledge, science in bali

Name:
Location: Gianyar, Bali, Indonesia

Private Teacher Healer practice Reiki, Prana Shakti, Q-Rak, Shamballa LDH

Friday, November 9, 2007

Upacara SUDHI WADANI, Upacara masuk Hindu Bali

Upacara Sudhi Wadani biasanya dilakukan pada saat seeorang akan masuk menjadi orang bali terutama masuk Agama Hindu. secara sepintas upacara ini mirip dengan upacara Manusa Yadnya seutuhnya, hanya saja upacara ini ditambahkan beberapa sesi pembacaan janji serta tambahan upacara pengenteg yang biasanya biberikan kepada orang bali yang mengalami kesulitan. adapun kupasan dari isi upakara tersebut:

Manut lontar Sundari Putih, salah ngambil ( ambil ) anak siyosan agama, kapatut:
(artinya: menurut Kitab Suci Sundari Putih, bila mempersunting orang dari lain agama, haruslah diupacarai agar selamat, diantaranya) :

  1. Byakawon, durmanggala, prayascita
  2. Sesayut pageh urip
  3. Sesayut sudhi wadani
  4. Pacolongtan, miyak sepih
  5. Panebusan, pangulapan
  6. Tigang sasihan
  7. Otonan ngelantur menek daha taruna
  8. Mesangih, mepadamel
  9. Basma kuning
  10. Melukat :
    A.
    Astu pungku
    B. Lara wigna
    C. Panca dewata
    D. Resi Ghana
    E. Betara Ghana
    F. Sudha mala
    G. Gni ngelayang
    H. Sangkepi


untuk banten/upakaranya yang melengkapi upacara diaas antra lain:

  1. Sesayut Sudi Wadani :Dulang mesusun wastra barak, putih. Mesusun kulit sayut meplekir, daging beras barak-putih, suci genep asoroh, daksina 1, tumpeng agung barak 1, putih 1, meiter. Tumpeng alit putih 5, barak 9, tulung 2, nasi kojongan 4, metakan daun sudamala, kwangen 5, iwak balong ( balung bolong ), sata wiring pinanggang, lan sata bitih, canang 5, sekar tunjung barak putih, klungah klapa gading, lis sanjata, toya wadah sibuh, pras panyeneng – buhu-buhu, bresian, pangresikan, lis busung, segaan cacahan, segahan kepelan mancawarna, tetabuhan genep.
  2. Sesayut pageh urip :Kulit sayut meplekir, nasi tlompokan akucak, nasi tumpeng putih kuning pada adanan, mearu antuk toya cendana, mepager kwangen 9 siki, tumpenge mesekar cempaka putih kuning 9 katih, tunjung biru 1, tunjung putih 1, raka-raka sarwa suci magula tebu, pisang gading a ijas, raka-raka sarwa galahan, tulung urip 1, tulung sangkur 5, katipat pandawa 1, katipat sari 1, iwak itik ginuling 1, tatebusan putih kuning sedah woh, roro ingapun, ganak merik, lis sanjata, klungah klapa gading1, sibuh slaka medaging toya empul, arta 225, pabersihan jangkep.
bila kurang jelas juga bisa menghubungi para sulinggih yang terdekat

Kesalah pahaman KASTA di Bali

Selama masa Bali kuno, masyarakat menjadikan Tuha-tuha pemegang adat (yang di tuakan) sebagai panutan. Kemudian tampil Raja, para Penguasa dan para Pendeta mengambil peranan lebih menonjol. Ketika itu, sesuai dengan konsep Catur Warna dalam Agama Hindu, masing-masing Warna tidaklah merupakan hak turun-temurun.

Keadaan demikian berlangsung sampai pemerintahan Raja Bali kuno terakhir, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Setelah kekalahan Beliau melawan Majapahit tahun 1343, kemudian diangkat seorang keturunan Brahmana, Mpu Kresna Kepakisan dari Kediri menjadi Raja Bali. Semenjak itulah sistem Warna perlahan-lahan berubah menjadi sistim Wangsa, yang secara umum dapat disebut sebagai sistim kasta khas Bali. Namun demikian, pelapisan sosial masyarakat Bali ke dalam sistim kasta itu tidak nampak dianut seluruh daerah ini. Dalam masyarakat Bali Aga, sistim kasta tidak ditemukan.

Ketika Mpu Kresna Kepakisan dipilih menjadi Raja di Bali, Beliau segera mengubah kedudukanya menjadi Ksatria. Namanya pun diganti dari Mpu, gelar seorang Brahmana, menjadi Sri, gelar seorang Ksatria.

Demikian jelas, pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan, sistem Wangsa sebagai sistim kasta khas Bali masih belum ada. Bahkan pergantian gelar Mpu menjadi Sri itu menunjukan sistim Warna seperti yang dianut masyarakat Bali kuno masih dipakai.

Setelah Sri Kresna Kepakisan bersama para Arya Majapahit yang memerintah di bali inilah mulai menciptakan Wangsa - wangsa, yang kemudian dikelompokkan sebagai Ksatria dan Waisya dalam sistim kasta. Sedangkan Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang Astapaka, menurunkan Wangsa Brahmana yang kemudian dikelompokan ke dalam kasta Brahmana. Sementara keturunan Raja dan Ksatria Bali Aga yang dikalahkan nyaris tidak berhak menyandang gelar ketiga “Kasta” tersebut, kecuali mereka yang diperlukan wibawanya dalam menegakkan stabilitas pemerintahan yang baru. Tetapi mungkin juga seperti masyarakat Bali Aga umumnya, keturunan Raja dan Ksatria Bali Aga itu tetap menolak sistem “kasta”. Mereka dikelompokkan sebagai “Sudra” yang kemudian menyebut diri mereka sendiri sebagai “Jaba”(luar), yang berarti golongan di luar ketiga kasta tersebut.

Tetapi untuk menyesuaikan dengan sistim warna, ada yang menyebut para “Ksatria” di luar “Satria Dalem”(keturunan raja-raja Dinasti Kresna Kepakisan), sebagai kasta “Waisya”.

Pengelompokan wangsa-wangsa di Bali dikukuhkan lagi dengan hukum adat, yang memberi hak-hak lebih istimewa kepada wangsa yang lebih tinggi. Dengan melekatnya hak-hak istimewa itu, yang melekat secara turun-menurun, semakin kuatlah anggapan masyarakat bahwa wangsa itu sesungguhnya sama dengan kasta.

Pada masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan ini sudah muncul gelar-gelar baru, seperti Gusti dan Dewa, bercampur dengan gelar-gelar lama, seperti Arya, Krian dan Kyai. Perkembangan selanjutnya menunjukkan sistim wangsa yang sengaja dimirip-miripkan dengan kasta menumbuhkan pula sejenis sub-sub kasta seperti di India. Istilah “Pungakan (Ngakan), sebagai pecahan kasta ksatria. Sebutan “Ngurah” untuk menamai anak yang lahir dari Ayah Ksatria dengan Ibu Jaba. Dan istilah “Astra” untuk sebutan anak yang lahir dari seorang Ibu berkasta lebih rendah dari Ayah, namun tidak dinikahi atau dinikahi setelah hamil. Masih ada istilah “Si atau Gusi (beda dengan Gusti), yang mirip dengan sub-sub kasta yang ada di India.

Meskipun kemudian masalah kasta di Bali tidak berkembang setajam dan serumit di India, namun sistim wangsa telah menimbulkan gejolak-gejolak social. Hal ini didahului dengan semacam perebutan pengaruh lewat “Politik Keagamaan” seperti tercermin di dalam Babad-babad.

Para ksatria Bali Aga yang telah ditaklukan secara pisik sehingga tergeser dari panggung kekuasaan kaum elit, dinistakan oleh Prapanca (pujangga Majapahit) seperti tercantum dalam Kitab Nagarakertagama, nyanyian 49, bait 4, tentang Raja Bali terakhir, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sebagai seorang Raja Bali yang hina. Dalam bait itu disebutkan “…….tahun saka 1265 raja Bali yang jahat dan nista diperangi oleh Majapahit dan semua binasa. Takutlah semua pendurhaka pergi jauh….”.tuduhan Prapanca itu tidak benar karena Raja Bali tersebut raja yang gagah berani dan menghendaki orang Bali tetap berdaulat dan merdeka, serta merupakan Negara yang sejajar dengan Majapahit. Karena sifat tersebut, beliau disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang berarti sang raja yang kesaktiannya ibarat delapan Dewa, permata pulau Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuduhan pujangga Prapanca tersebut disebabkan oleh karena Raja Astasura (Dalem Bedahulu) tidak mau tunduk kepada raja Majapahit.

Karena para Ksatria Bali Aga telah dapat disingkirkan dari panggung kekuasaan dan direndahkan derajatnya, maka kemudian kaum Brahmana Bali Agalah yang menjadi sasaran karena tidak menyetujui sistim kasta. I Gusti Bagus Sugriwa (yang menyalin babad Dwijendra Tattwa) menyebutkan Brahmana Bali Aga termasuk Empu, Dukuh, dan Sengguhu (Bhujangga) yang dikenal sebagai penganut sekta Wisnu (Waisnawa) yang terutama menjadi sasaran. Dalam kaitan “Politok Keagamaan” diciptakan babad-babad (semacam penulisan sejarah) seperti Dwijendra Tattwa dan Kundalini yang berusaha mengecilkan peranan warga Bhujangga. Misalnya dibuat dongeng bahwaseluruh warga Bhujangga telah punah (moksah), dan sengguhu yang ada di bali tidak lain daripada keturunan pelayan Dang Hyang Nirarta yang bernama I Kelik. Jika menjadi pendeta harus ditapak oleh Pedanda dari wangsa Brahmana dan julukan yang patut diterima kepadanya adalah “Jero Gede”. Politik keagamaan ini nyari berhasil, karena beberapa warga Bhujangga sempat di-Diksa (dibaotis sebagai pendeta) oleh wangsa Brahmana dan kemudian diberi julukan Jero Gede.

Namun belakangan sebagian umat Hindu sadar bahwa apa yang diperjuangkan oleh para Brahmana dan Ksatria Bali Aga adalah sesuai dengan inti kebenaran ajaran Hindu. Umat Hindu juga sadar bahwa “Politik Keagamaan” yang bertujuan memecah belah umat hanya akan menimbulkan gejolak social, penderitaan dan kerugian bagi umat Hindu sendiri. Gejolak sosial kemudian terjadi setelah masyarakat Bali lebih leluasa dapat mempelajari agama dan meningkatkan pendidikan mereka.

Wangsa Versi Bali "KASTA"

Di Bali penduduknya sejak awal mayoritas beragama hindu. Di Bali ini pun system pelapisan sosial mengalami sejarah pertumbuhan, oleh masyarakat disebut Wamsa dan berkembang menjadi Wangsa. Wangsa membeda-bedakan masyarakat berdasarkan keturunan.dalam sistim ini ada satu keturunan yang dipandang lebih tinggi dan ada yang dipandang lebih rendah, demikian pula ada kelompok keturunan yang secara tradisional mendapatkan hak-hak istimewa terutama dalam pergaulan adat.

Timbulnya sistim ini semenjak pemerintahan dalem di bali pada abad ke XV. Umat hindu di Bali menurut sumber tradisional sebagian besar dari jawa yang diawali oleh kedatangan Dang Hyang Markandya yang membawa petani-petani dari gunung rawung di Jawa Timur.

Masyarakat bali dalam kenyataan dewasa ini dibagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama, yang secara tradisional dikatakan berasal dari keturunan Dang Hyang Dwijendra dan Dang Hyang Astapaka, yang kemudian diyakini sebagai cikal bakal Wangsa Brahmana Siwa dan Brahmana Budha. Umumnya, rumah tinggal kedua Wangsa Brahmana ini disebut Geria. Golongan kedua, adalah golongan yang berasal dari keturunan para Ksatria yang berasal dari Kediri dan Majapahit. Keturunan ini disebut Wangsa Ksatria, yang tempat tinggalnya disebut dengan Jero atau Puri. Golongan ketiga adalah golongan yang bertempat tinggal di luar Jero, Puri dan Geria. Mereka disebut orang Jaba.
Namun, dalam hal keagamaan ketiganya sama saja. Ketiganya dapat “Meiksa”(belajar kerohanian) untuk menjadi pendeta dwijati. Yang berbeda adalah gelarnya karena masing-masing golongan memberi nama sendiri-sendiri.

Di bali pengertian Wangsa, Kasta di India dan Catur Warna menjadi kabur, karena pendidikan yang rendah dan kurang tersebarnya kitab-kitab Weda. Sehingga para rohaniawan yang memang Brahmana sesuai konsep Catur Warna, misalnya, sampai keturunannya pun disebut Brahmana. Para penguasa kerajaan dan pemerintahan beserta keluarganya disebut golongan Ksatria, padahal itu salah.

Peranan masing - masing Warna (Kasta) di Bali

Warna atau yang sering disebut kasta di Bali, memiliki peran dalam roda kehidupan. diantaranya:

A. Brahmana

Brahmana (brh artinya tumbuh), berfungsi untuk menumbuhkan daya cipta rohani umat manusia untuk mencapai katentrama hidup lahir batin. Brahmana juga berate Pendeta, yang merupakan pemimpin agama yang menuntun umat Hindu mencapai ketenangan dan memimpin umat dalam melakukan upacara agamanya. Oleh karena tugasnya itu seorang Brahmana wajib untuk mepelajari dan memelihara Weda, dan tidak melakukan pekerjaan duniawi.
Penjelasan tentang Brahmana ada pada Slokantara sloka I yang berbunyi “…..tidak ada manusia yang melebihi Brahmana, Brahmana arti (tepatnya) ialah orang yang telah menguasai segala ajaran-ajaran Brahmacari ……….. Brahmana ialah beliau yang mempunyai kebijaksanaan yang lebih tinggi melebihi (pengetahuan) manusia umumnya……” selanjutnya Mahabharata III. CLXXX, 21, 25 dan 26 menguraikan sifat-sifat dan tanda-tanda Brahmana dan hal itu tidak turun menurun. Bunyinya “…….jujur, dermawan, suka mengampuni, bersifat baik, sopan, suka melakukan pantangan agama dan pemurah dialah yang hendaknya dipandang Brahmana…..”. “……bila sifat-sifat ini ada pada Sudra dan tidak ada pada Brahmana, Sudra itu bukan Sudra dan Brahmana itu bukan Brahmana”. “Pada siapa tanda ini terdapat, hai ular, dialah yang harus dipandang Brahmana, pada siapa tanda ini tidak terdapat, hai ular, dia harus dipandang sebagai Sudra”. Dalam Manawa Dharmasastra, X, 65 menjelaskan sifat Warna Brahmana itu tidak ditijau dari keturunan. Sloka tersebut berbunyi “seorang Sudra menjadi Brahmana dan Brahmana menjadi Sudra (Karena sifat dan kewajiban), ketahuilah sama halnya dengan kelahiran Ksatria dan Waisya”.

B. Ksatria

Ksatria dalam bahasa sansekerta artinya suatu susunan pemerintahan, atau juga berarti pemerintah, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan dan kekuatan.
Sifat-sifat Ksatria , Bhagavadgita XVIII, 43, menguraikan sebagai berikut “Berani, pekasa, teguh iman , cekatan dan tak mundur dalam peperangan, dermawan dan berbakat memimpin adalah karma (kewajiban) Ksatria”. Dalam Manawa Dharmasastra I, 89, menguraikan tentang kewajiban Ksatria. Bunyinya “ Para Ksatria diperintahkan untuk melindungi rakyat, memberikan hadiah-hadiah, melakukan upacara kurban, mempelajari Weda dan mengekang diri dari ikatan-ikatan pemuas nafsu”. Dalam lontar Brahmokya Widhisastra lembaran 6a, menyebutkan larangan dan sanksi-sanksi Warna Ksatria, bunyinya “…. Apabila ada Ksatria berbuat tidak benar………. Diluar sifat Ksatria…… mereka akan menjadi Sudra……”

C. Waisya

Waisya (vic) dalam bahasa sansekerta berarti bermukim diatas tanah tertentu. Dari kata tersebut, kemudian berkembang artinya menjadi golongan pekerja atau seseorang yang mengusahakan pertaniaan.
Dalam Bhagavadgita XVIII, 44, menguraikan kewajiban Waisya, bunyinya “…Bercocok tanam, berternak sapi dan berdagang adalah karma (kewajiban) Waisya menurut bakatnya….”. selain itu dalam Manawa Dharmasastra I, 90, disebutkan pula “Para waisya ditugaskan untuk memelihara ternak, memberikan hadiah, melakukan upacara korban, mempelajari Weda, meminjamkan uang dan bertani”. Jadi singkatnya fungsi waisya adalah dalam bidang ekonomi.

D. Sudra

Sudra artinya pengbdi yang utama.

Peranan dan fungsi Warna Sudra diuraikan pada Sarasamuccaya, 60, bunyinya “…….prilahu Sudra, setia mengabdi kepada Brahmana, Ksatria dan Waisya sebagaimana mestinya, apabila puaslah ketiga golongan yang dilayani olehnya, maka terhapuslah dosanya dan berhasil segalanya”. Dalam Bhagavadgita disebutkan bahwa “…meladeni (menjual tenaga) adalah kewajiban Sudra menurut bakatnya”.
Warna Sudra bukanlah berarti paling buruk dan jelek. Bhagavata Purana, VII, XI, 24, menunjukan cirri-ciri Warna Sudra sebagai mahkluk Tuhan yang utama. Bunyinya “… kerendahan hati, kesucian, bhakti kepada atasan dengan tulus, ikhlas beryadnya tanpa mantra, tidak mempunyai kecenderungan untuk mencuri, jujur dan menjaga sapi sang Vipra (brahmana) inilah cirri-ciri yang dimiliki oleh Sudra”.

Keempat Warna itu akan dapat saling isi mengisi antara satu dengan yang lainnya. Pengelompokan masyarakat ke dalam empat warna itu akan menumbuhkan hubungan social yang saling membutuhkan. Keretakan diantara profesi itu akan dapat merugikan semua pihak.

Usada Dalem

merupakan Lontar Pengobatan yang sempat digunakan oleh orang bali kuno, adapun kutipan isi lontar tersebut adalah:

[1b] Ong Awighnàmàstu. Patngëran tlas ring kapatin, iti wariga dalëm, ning nghàjñanà, hana pùrwwà bhumi ring bwanàlit, apan hanàjñanàntàgring tan kawaúa tinggal, tlas sanghyang urip wus atinggal. Malih yan wus karaúà tëtngëran mwang ngacicidrà, ikà druwà wwang mangkanà. Iti lwir rikang hoûadhi. Nihan patngëraning wiûya, lwirnyà, yen tan pabhayu, upas tahunan kaglarani, úa, wah jruk, gulà, hisin rong, pipis patiwyà hinum. Yen kuning kukunya, kërikan gangúa glarani, úa,

Artinya: Ya Tuhan Semoga terhindar dari segala rintangan. Tanda- tanda kematian pada orang yang akan meninggal, ini Wariga Dalem , (bersumber) dari pengetahuan sejati, tersebut sejak semula dalam tubuh manusia terdapat kandungan alam semesta, sebab sumber penyakit senantiasa melekat, setelah Sanghyang Atma meninggalkan badan baru dia akan pergi. Dan lagi jika sudah merasakan dan memahami tanda-tanda (tentang) penyakit , itu hendaknya diketahui oleh manusia. Ini di antaranya ilmu tentang pengobatan. Inilah tanda-tanda tentang penyakit, di antaranya, jika nafas hampir meninggalkan raga, upas tahunan menyakiti, sarana, buah jeruk, gula, isinrong (rempah-rempah), dilumat, airnya diminum. Jika kukunya (tampak) kuning, krikan gangsa , (sumber) penyakitnya, sarana,

[2a] ëñcah bebek, kunir warangan, tahap. Yen jnar úocanyà asa bàng, upas dewek kaglaranin, úa, carmmàn poh hijo, lunak tanëk, wenya bayëm puring, inum. Yen matrà kukunya karawat bang, upasing hyang nglaranin, úa, jukut raûþi, adas, bawang tambus, inum. Maka bàng, kadi mtu, kawaúa uyang, pipilingan kadi cinlëk, kuku bhirù u-pas manglarà, tawarën. Tluntu yogah agatël, knà warangan ika, kukurah indening yeh angët, gumigil tan pantarà turra wa –

Artinya: air kencing bebek, kunyit warangan , di minum. Jika matanya kuning kemerah-merahan, upas dewek yang menyakiti, sarana, kulit mangga hijau, asam yang direbus, air bayam puring , diminum. Jika mata kukunya tampak kemerahan, upas Hyang yang menyakiti, sarana, akar paku nasi, adas, bawang yang dipanggang, diminum. Mata merah, seakan hendak keluar, senantiasa gelisah, pelipis mata bagai ditusuk, kuku (tampak) biru, racun yang menyebabkan, hendaknya diobati. Gigi goyah dan gatal, itu terkena racun warangan , dikumur dengan air hangat, menggigil kedinginan, dan batuk

[2b] _tuk tan pantarà, kna raratus, úa, rwan pucuk putih tan patlak saka wit, hinum, japan dening mantran panawar, wdaknyà rwa ning katepeng, tutuhnyà wdak dahuti, kasisat putih, sari kuning, kalëmbak kàsturi, puhhaknà. Yan gumtër paglaning tanganyà, knà ctik ika, pùhhaknà, wnang tinawar. Yan kna, cþik upasmat, úa, candàna, hasat ring dulang dulang dulangan, tain ñlati, càrmman bëngkël, càrmman këndal, sami panggang haywà winàlik, pipis, we bayu wenyà, hinùm, ma, Ong hayu gumi, kewu hana janma manuûà,

Artinya: yang terus menerus, terkena raratus (campuran racun), sarana, daun kembang sepatu putih termasuk akar, daun dan kulitnya, diminum, dimantrai dengan mantra penawar, borehnya daun ketepeng, ditetesi boreh dahuti , kasisat putih, sari kuning, klembak, kasturi , teteskan, jika pergelangan tangannya terasa gemetar, itu terkena cetik (racun), teteskan, hendaknya diobati. Jika terkena cetik (racun) upasmat , sarana, cendana digosokkan pada dulang, tahi nylati (sari-sari tanah), kulit pohon bengkel , kulit pohon kendal , semua dipanggang tanpa dibalik, dilumatkan, air saringan airnya, diminum, mantra , ong hayu gumi, kewu hana janma manusa,(Ya dunia sejahtera, ada manusia, ada sinar dunia, ada sinar manusia, Bhatara ada manusia, mencari kesaktian, mantraku ampuh dan berhasil)

[3a] tejà bhùmi hana teja manùûà, bhatara hana manùûà, amlaku kaúakten, makàsiddhà siddhi mandi mantranku. Gring angrintik ring jro wtëng kadi siwul, knà upas ika, glisang tawar, yan masih angrintik, gringnyà, knà upas bantën ika, úa, mbutan gdang tambus, uyah arëng, takap dusdhus dening gumpang kàng ngagring upasing kbo ingël anglarani, tan dadyàngucap mingel kewalà, úa lënghàrungan, bawang pþak tunggal, padang lëpas, ma, ong bëngkëk. Ta, kna wiûyà, úa, rwaning

Artinya: teja bhumi hana teja manusa, bhatara hana manusa, amlaku kasakten, makasiddha siddhi mandi mantranku , Sakit melilit di dalam perut seperti lembam, itu terkena upas (racun), cepat diobati, jika masih melilit, sakitnya, itu terkena upas banten , sarana, buah pepaya muda dipanggang, arang dapur, ditutupi dengan asap dari dedak padi terhadap orang yang terkena sakit, upas kbo ingel yang menyakiti, tiada dapat berkata senantiasa diam, sarana, minyak arungan , sebiji bawang putih, padang lepas, mantra, ong bengkek (Ya cebol). Obat, terkena racun, sarana, daun -


[3b] dapdap, rwaning tingkoh ne ngùddha, who tingkih, bawang, tmu tis, urapaknà. Malih, úa, mbungnging dapdap tis, santen, ktan gajih, adas, ma, Ong cþik tiwang galùghà atal putih, cþik tiwang sawari putih, mantrà úaliwah putih, takëp cþik tiwang úaliwah putih, mantrà kaddhi arëp, manik, úa, babakan pule, santën, gintën, sàri, kasuna jangù, pipis patinya inum, ma, Ong cþik tiwang galugà, cþik tiwang macan punah, cþik tiwang kbo putih punah, cþikti bhùtha ya punah, gsëng sira gsëng, campa tebah cabar. Ta, knà upas sanghyang, úa, paya puwuh, klapa, kunir

Artinya: dadap, daun kemiri yang masih muda, buah tingkih , bawang, temu tis , diborehi. Lagi , sarana daun muda dadap tis (yang tidak berduri), santan, ketan gajih , adas, mantra, ong ctik tiwang galuga atal putih, ctik tiwang sawari putih, mantra saliwah putih, (Ya racun tiwang galuga, racun tiwang sawari putih, mantra saliwah putih), diminum. Cetik tiwang saliwah putih , mantranya seperti tersebut di atas. Lagi, sarana, kulit pohon pule , santan, ginten , sari , bawang putih dan jangu (jerangau), dilumatkan perasannya diminum, mantra, ong ctik tiwang galuga, ctik tiwang macan punah, ctik tiwang kbo putih punah, ctik bhuta ya punah, gseng sira gseng , campa tebah cabar (Ya racun tiwang galuga, racun tiwang macan punah, racun tiwang kebo putih punah, cetik Bhuta juga punah, bakar ia bakar, agar tidak berguna lagi). Obat, terkena upas Sanghyang, sarana, paya puwuh (peria yang buahnya kecil-kecil), kelapa, kunyit-

[4a] warangan, adas, pipis inum, ma, Ong awuning karuyu kahlà, amadëmi wong, wruh aku ring kamulanmu tka tawar, 3, awu ning kbo gule amadëmi wong, wruh aku ring kamulànku, tka tawar, 3, awuning kbo dungkul kule, amadëmi wong, wruh aku ring kamulanku, tkà tawar, 3, awuning upas sanghyang, amadëmi wong, wruh aku ring kamulanku, tka tawar, 3, siðdhi mantranku. Ta. Knà wisya, úa, rwa ning kwañji, yeh bras, bawang, pulasahi, patinya tahap. Malih, úa, lublub tingkih, candanà ingasab, santën kane, isinrong, maja kane, tahap. Malih, úa, akah dapdap, rwaning sëmbung, kuwud kumruk, wdak ring kulaknya wong kabeh, gagam-bi –

Artinya: warnanya kemerahan, adas, di lumat kemudian diminum, mantra, ong awuning karuyu kahla, amademi wong, wruh aku ring kamulanmu tka tawar, 3 x, awuning upas sanghyang, amademi wong, wruh aku ring kamulanku, tka tawar, 3x, siddhi mantranku (Ya abunya karuyu ditelan, mematikan manusia, aku tahu dari asalmu datang, jadilah tawar,3x, abunya racun Sanghyang, mematikan manusia, aku tahu dari asalku, jadilah tawar,3x, demikian pula abu racun kebo gule, kebo dungkul kule, ampuhlah mantraku). Obat, terkena racun, sarana, daun terung kuanji , air beras, bawang, pulasari, perasannya diminum. Lagi, sarana, lublub tingkih (kerikan pada tangkai pohon kemiri), air gosokan cendana, santan kane (parutan kelapa tanpa diisi air / santan kental), isinrong (rempah-rempah), majakane (sejenis buah maja), diminum. Lagi, sarana, akar pohon dadap, daun sembung, buah kelapa muda, diborehkan pada keseluruhan badan, gagambi-

[4b] - ran, patinya tahap Upas ring rambat denyànglara, panas mauyangayingan, úa, tbu, yeh bwah, bakùng, kasunà, patinya inum. Ta, mtu nanah gtih sapanangkanyà, úa, inan kunyit, warangan, ckuh, gamongan, isen, rwaning truk ñañah, patinyà tahap, worana sari lungid. Lamun amangan, carmman campakà pinanggàng, mantràning mantran tuju. Ta, mtu nanah sapanangkanyà, úa, wwaning tuju mùkûà, sëmbung, isen, sàri ingid, santë, inùm. Ta, mtu rah saking bagà, úa, gamongan këdis, yeh ñoño, tmu tis, waluh pait, wwe cukà, tahap. Ta, ngamdalang rah

Artinya: ran (rempah), perasannya diminum. Racun / upas rambat yang mematikan, panas menggelisahkan, sarana, tebu, air buah pinang, bakung, bawang putih , perasannya diminum. Obat, keluar nanah dan darah di berbagai tempat pada badan, sarana, inan kunyit warangan (kunyit yang sudah tua), kencur, lempuyang, lengkuas, daun jeruk yang disangrai , perasannya diminum, di campurkan sari lungid , jika hendak dimakan, kulit pohon cempaka dipanggang, dimantrai dengan mantra tuju (rematik). Obat, keluar nanah di berbagai tempat pada badan, sarana, daun tuju musna , sembung , lengkuas, sari lungid , santan, diminum. Obat keluar darah dari vagina, sarana, gamongan kedis (lempuyang yang umbinya kecil-kecil), air susu ibu, temu tis , labu pahit, air cuka, diminum. Obat, mengeluarkan darah